Devaluasi mata uang adalah suatu tindakan penyesuaian nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing lainnya yang dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas Moneter
yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Devaluasi tersebut biasanya
dilakukan apabila rezim yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap
tersebut menilai bahwa harga mata uangnya dinilai terlalu tinggi
dibandingkan nilai mata uang negara lain dimana nilai mata
uang tersebut
tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negera yang bersangkutan. Mata
uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari
perbedaan inflasi kedua negara. Negara yang inflasinya tinggi
seharusnya akan segera mengalami penurunan nilai namun dalam sistem
nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak berlaku secara
otomatis karena penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan
pemerintah. Tanda-tanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai
antara lain ekspor yang terus menurun dan industri manufaktur mulai mengalami penurunan kinerja.
Devaluasi di Indonesia
30 Maret 1950
Pemerintahan
Presiden Sukarno , melalui menkeu Syafrudin Prawiranegara (Masyumi,
Kabinet Hatta RIS) pada 30 Maret 1950 melakukan devaluasi dengan
penggutingan uang. Syafrudin Prawiranegara menggunting uang kertas
bernilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya berkurang separuh. Tindakan ini
dikenal sebagai “Gunting Syafrudin“.
24 Agustus 1959
Pemerintahan
Presiden Sukarno melalui Menteri Keuangan yang diranagkap oleh Menteri
Pertama Djuanda menurunkan nilai mata uang Rp 10.000 yang bergambar
gajah dan Rp 5.000 yang bergambar macan, diturunkan nilainya hanya jadi
Rp 100 dan Rp 50.
1966
Imbas
dari tindakan embargo yang dilancarkan oleh sekutu Kapitalis dan
Imperialis terhadap Indonesia karena berani menentang pembentukan negara
boneka di kawasan Asia Tenggara oleh Inggris dan AS, Waperdam III
Chairul Saleh terjeblos dalam tindakan ekstrem, mengganti uang lama
dengan uang baru dengan kurs Rp. 1000 akan diganti Rp. 1 baru. Akibatnya
inflasi tak terkendali dan segera melonjak 650% dan Bung Karno dipaksa
untuk mengeluarkan Supersemar 11 Maret 1966 yang semakin mengukuhkan
pemberontakan Soeharto sejak menolak dipanggil ke Halim oleh Panglima
Tertinggi pada 1 Oktober 1965.
21 Agustus 1971
Terjadi
pada masa pemerintahan Presiden Suharto (Orde Baru) melalui Menkeu Ali
Wardhana. AS pada 15 Agustus 1971 harus menghentikan pertukaran dollar
dengan emas. Presiden Nixon cemas dengan terkurasnya cadangan emas AS
jika dollar dibolehkan terus ditukar emas, dimana 1 troy onz emas = US$
34.00. Maka untuk menjaga cadangan emas AS, pemerintah AS menghapuskan
sistem penilaian dollar yang dikaitkan dengan emas. Soeharto yang sangat
tergantung dengan AS mati kutu dan tidak bisa mengelak dari dampak
gebrakan Nixon dan Indonesia mendevaluasi Rupiah pada 21 Agustus 1971
dari Rp. 378 menjadi Rp. 415 per 1 US$.
15 November 1978
Masa
Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Ali Wardhana. Walaupun
Indonesia mendapat rezeki kenaikan harga minyak akibat Perang Arab –
Israel 1973, tetapi Pertamina justru nyaris bangkrut dengan utang US$ 10
milyar dan Ibnu Sutowo dipecat pada 1976. Tetap tidak bisa dihindari
devaluasi kedua oleh Soeharto pada 15 November 1978 dari Rp. 415 menjadi
Rp. 625 per 1 US$.
30 Maret 1983
Masa
Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Radius Prawiro. Pada saat
itu Menkeu Radius Prawiro mendevaluasi rupiah 48% jadi hampir sama
dengan menggunting nilai separuh. Kurs 1 dolar AS naik dari Rp 702,50
menjadi Rp 970.
12 September 1986
Masa
Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Radius Prawiro. Pada 12
September 1986 Radius Prawiro kembali mendevaluasi rupiah sebesar 47%,
dari Rp 1.134 ke Rp 1.664 per 1 dolar AS. Walaupun Soeharto selalu
berpidato soal tidak ada devaluasi, tapi sepanjang pemerintahannya telah
terjadi empat kali devaluasi.