Terdapat lima karakteristik bermain peran, yaitu:
- Merupakan sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai yang positif bagi anak.
- Didasari motivasi yang muncul dari dalam. Jadi anak melakukan kegiatan itu atas kemauannya sendiri.
- Sifatnya spontan dan sukarela, bukan merupakan kewajiban. Anak merasa bebas memilih apa saja yang ingin dijadikan alternatif bagi kegiatan bermainnya.
- Senantiasa melibatkan peran aktif dari anak, baik secara fisik maupun mental.
- Memiliki hubungan sistematik yang khusus dengan sesuatu yang bukan bermain, seperti kemampuan kreatif, memecahkan masalah, kemampian berbahasa, kemampuan memperoleh teman sebanyak mungkin dan sebagainya.
Bermain peran (role playing)
merupakan sebuah permainan di mana para pemain memainkan peran
tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita
bersama. Para pemain memilih aksi tokoh-tokoh mereka berdasarkan
karakteristik tokoh tersebut, dan keberhasilan aksi mereka tergantung
dari sistem peraturan permainan yang telah ditetapkan dan ditentukan,
asalkan tetap mengikuti peraturan yang ditetapkan, para pemain bisa
berimprovisasi membentuk arah dan hasil akhir permaian.
Oktaviani (2008) menyatakan lima pengertian bermain di antaranya:
- Sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai positif bagi anak.
- Bermain tidak memiliki tujuan ekstrinsik namun motivasinya lebih bersifat intrinsik.
- Bersifat spontan dan sukarela tidak ada unsur keterpaksaan dan bebas dipilih oleh anak.
- Melibatkan peran aktif keikutsertaan anak.
- Memiliki hubungan sistematik yang khusus dengan sesuatu yang bukan bermain, seperti misalnya: kreativitas, pemecahan masalah, belajar bahasa, perkembangan sosial, dan sebagainya.
Santrock (1995:
272) menyatakan bermain peran (role play) ialah suatu kegiatan yang
menyenangkan. Secara lebih lanjut bermain peran merupakan suatu kegiatan
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kesenangan. Role playing
merupakan suatu metode bimbingan dan konseling kelompok yang dilakukan
secara sadar dan diskusi tentang peran dalam kelompok. Di dalam kelas,
suatu masalah diperagakan secara singkat sehingga siswa dapat mengenali
karakter tokoh seperti apa yang siswa peragakan tersebut atau yang
menjadi lawan mainnya memiliki atau kebagian peran seperti apa. Santrock
juga menyatakan bermain peran memungkinkan anak mengatasi frustrasi dan
merupakan suatu medium bagi ahli terapi untuk menganalisis
konflik-konflik anak dan cara-cara mereka mengatasinya.
Ginnot (1961; dalam
Eka, 2008) menyatakan bermain peran diyakini sebagai sarana
perkembangan potensi juga dapat dijadikan sebagai media terapi. Terapi
bermain peran khususnya merupakan pendekatan yang sesuai untuk melakukan
konseling dengan anak karena bermain adalah hal yang alami bagi anak.
Melalui manipulasi mainan, anak dapat menunjukkan bagaimana perasaan
mengenai dirinya, orang-orang yang penting serta peristiwa dalam
hidupnya secara lebih memadai daripada melalui kata-kata.
Ginnot (1961; dalam
Eka, 2008) menegaskan bahwa bermain peran merupakan seperangkat
prosedur yang digunakan untuk melakukan konseling dengan anak melalui
penggunaan secara sistematis dari metode bermain, permainan, dan alat
permainan.
Van Fleet (2001)
menyatakan bermain peran merupakan intervensi yang dikembangkan yang
berkaitan dengan penggunaan sistematis dari metode bermain oleh seorang
konselor untuk membawa peningkatan dalam kemampuan siswa sampai
penampilan yang optimal di sekolah. Bermain peran juga meliputi
penggunaan bermain secara sistematis untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
anak, mengembangkan pola perilaku adaptif, mengendalikan diri siswa
yang agresifnya tinggi, meningkatkan kemampuan berempati, dapat
mengelola emosi, dapat menjadi individu yang bertanggung jawab, memiliki
interpersonal skill yang bagus dan dapat memecahkan masalah secara
efektif dan bijaksana.
Corsini (1996),
(Tatiek, 1989) menyatakan bahwa bermain peran dapat digunakan sebagai
alat untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang dengan cara mengamati
perilakunya waktu memerankan dengan spontan situasi-situasi atau
kejadian yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya. Selain itu teknik
bermain peran dapat digunakan sebagai media pengajaran melalui proses
modeling anggota kelompok dapat belajar lebih efektif
keterampilan-keterampilan yang berhubungan dengan interpersonal, dengan
mengamati berbagai macam cara dalam memecahkan masalah.
Kenneth (Sumber
Lead Sabda) menyatakan bahwa teknik bermain peran (role playing)
merupakan teknik psikoterapi tahun 1930-an. Role playing yang dapat
membawa perubahan perilaku yang tidak baik menjadi baik dan terarah.
Mulyasa (2004;
dalam Asriyanti 2011) menyatakan empat asumsi yang mendasari teknik
bermain peran (role playing) dapat mengembangkan perilaku yang baik dan
nilai-nilai sosial, yang kedudukannya sejajar dengan model-model
mengajar lainnya.
Keempat asumsi tersebut sebagai antara lain:
- Bermain peran dilaksanakan berdasarkan pengalaman siswa dan isi dari pelaksanaan teknik ini yaitu pada situasi “disini pada saat ini”.
- Bermain peran memungkinkan siswa untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaannya untuk mengurangi beban emosional.
- Teknik bermain peran ini berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para siswa dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, siswa belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara lebih optimal lagi.
- Teknik bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai dan sistem keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, siswa dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Dalam
pelaksanaannya dan kaitannya dengan kebutuhan bimbingan dan konseling
termasuk ke dalam kategori di mana individu memerankan situasi yang
imaginatif dengan tujuan untuk membantu tercapainya pemahaman diri
sendiri, meningkatkan keterampilan-keterampilan sosial, menganalisis
perilaku atau menunjukkan pada orang lain bagaimana perilaku seseorang
atau bagaimana seseorang harus bertingkah laku.
Role playing dalam
penelitian ini pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku untuk
mengembangkan konsep diri siswa menjadi positif dan meningkatkan
stabilitas emosional siswa. Dengan dramatisasi, siswa berkesempatan
melakukan, menafsirkan dan memerankan suatu peranan tertentu. Melalui
role playing, siswa diharapkan memiliki kesempatan untuk mengembangkan
seluruh pikiran dan minatnya dan juga perilakunya yang negatif menjadi
positif, emosinya yang meledak-ledak menjadi halus dan tidak emosian,
siswa yang tidak dapat berempati menjadi dapat bersikap empati, yang
kurang bertanggung jawab menjadi bisa lebih bertanggung jawab, siswa
yang kendali dirinya lemah dapat menjadi terkendali, siswa yang
interpersonal skill nya rendah bisa menjadi bagus.
Dapat disimpulkan
bahwa dalam penggunaan teknik bermain peran (role playing), konselor
sangat memegang peranan penting dan dapat menentukan masalah, topik
untuk siswa dapat membawakan situasi role playing yang disesuaikan dari
hasil need assessment siswa sehingga dapat disusun skenario bermain
peran (role playing), setelah itu baru dapat mendiskusikan hasil, dan
mengevaluasi seluruh pengalaman yang dirasakan oleh siswa setelah
melakukan bermain peran (role playing). Konselor harus mengenalkan
situasinya dengan jelas sehingga baik tokoh maupun penontonnya memahami
masalah yang disampaikan. Dalam memilih tokoh, konselor yang bijaksana
akan memberikan pengarahan kepada siswa yang akan dipilih berdasarkan
hasil need assessment yang sudah dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini
konselor menjelaskan kepada siswa bahwa siswa harus bersedia dan mau
menyadari dan membuang rasa tidak percaya diri yang ada di dalam dirinya
untuk mau tampil di depan umum dan menyadari bahwa dia memiliki
kemampuan untuk berperan, dalam permainan peran ini dilakukannya tidak
perlu kaku melainkan harus santai dan dapat menghayati peran yang dia
terima sehingga tidak salah dalam memeragakan/mendramatisasikan di depan
umum dan juga dalam bermain peran ini sistemnya spontan dan tidak
menghafal naskah sebelumnya, selain itu juga pemeran bebas memperagakan
tokoh yang muncul dalam situasi tersebut.