Sharing Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Senin, 11 November 2013

Model Pembelajaran Problem Based Learning

  1. A.    Model Pembelajaran Problem Based Learning
Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasi pengalaman belajar untuk mencapai tingkat belajar tertentu (Udin S. W., 1997). Joyce, dkk. (2003) mengemukakan bahwa suatu model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran di kelas. Oemar Hamalik (2003: 24) menjelaskan bahwa model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang digunakan untuk membentuk kurikulum, merancang bahan pengajaran dan membimbing pengajaran di kelas. Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan kerangka konseptual dalam wujud suatu perencanaan pembelajaran yang melukiskan prosedur yang sistematis yang digunakan sebagai pedoman dalam pembelajaran di kelas.
Istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yakni: 1) rasional teoretik yang logis yang disusun oleh para pencipta, 2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar, 3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat berhasil, 4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai (Wina Sanjaya, 2006: 128).
Sintaks suatu model pembelajaran menggambarkan keseluruhan urutan alur langkah yang pada umumnya diikuti oleh serangkaian kegiatan pembelajaran (Nana S., 1989: 43). Sintaks pembelajaran menunjukkan dengan jelas kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan oleh guru atau siswa dan tugas-tugas khusus yang dilakukan oleh siswa. Sintaks dari bermacam model pembelajaran mempunyai komponen yang sama seperti diawali dengan menarik perhatian siswa dan memotivasi siswa agar terlibat dalam proses pembelajaran. Demikian pula setiap model pembelajaran selalu mempunyai tahap menutup pelajaran. Namun demikian ada perbedaan seperti perbedaan pengelolaan lingkungan belajar, perbedaan peran siswa, perbedaan peran guru, perbedaan ruang fisik dan perbedaan sistem sosial kelas. Perbedaan-perbedaan tersebut harus dipahami oleh para guru dalam menerapkan model pembelajaran agar dapat dilaksanakan dengan baik.B.     Model Pembelajaran Problem Based Learning
Model pembelajaran problem based learning (pembelajaran berbasis masalah), awalnya dirancang untuk program graduate bidang kesehatan oleh Barrows, Howard (1986) yang kemudian diadaptasi dalam bidang pendidikan oleh Gallagher (1995). Problem based learning disetting dalam bentuk pembelajaran yang diawali dengan sebuah masalah dengan menggunakan instruktur sebagai pelatihan metakognitif dan diakhiri dengan penyajian dan analisis kerja siswa.
Model pembelajaran problem based learning berlandaskan pada psikologi kognitif, sehingga fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa, melainkan kepada apa yang sedang mereka pikirkan pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Pada problem based learning peran guru lebih berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa belajar berpikir dan memecahkan masalah mereka sendiri. Belajar berbasis masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim, 2000). Pedagogi Jhon Dewey menganjurkan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas yang berorientasi masalah dan membentu mereka menyelidiki masalah-masalah tersebut. Pembelajaran yang berdayaguna atau berpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan bawaan siswa untuk menyelidiki secara pribadi situasii yang bermakna merupakan hubungan problem based learning dengan psikologi Dewey. Selain Dewey, ahli psikologi Eropa Jean Piaget tokoh pengembang konsep konstruktivisme telah memberikan dukungannya. Pandangan konstruktivisme- kognitif yang didasari atas teori Piaget menyatakan bahwa siswa dalam segala usianya secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuannya sendiri (Ibrahim, 2000).
Adaptasi struktur problem based learning dalam kelas-kelas sains dilakukan dengan menjamin penerapan beberapa komponen penting dari sains. Empat penerapan esensial dari problem based learning adalah seperti diurutkan dalam Gallagher et.al (1995) adalah:
1)      Orientasi siswa pada masalah
Pada saat mulai pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas, menumbuhkan sikap positif terhadap pelajaran. Guru menyampaikan bahwa perlu adanya elaborasi tentang hal-hal sebagai berikut:
-          Tujuan utama dari pembelajaran adalah tidak untuk mempelajari sejumlah informasi baru, namun lebih kepada bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadikan pebelajar yang mandiri.
-          Permasalahan yang diselidiki tidak memiliki jawaban mutlak ”benar”. Sebuah penyelesaian yang kompleks memiliki banyak penyelesaian yang terkadang bertentangan.
-          Selama tahap penyelidikan dalam pembelajaran, siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi dengan bimbingan guru.
-          Pada tahap analisis dan penyelesaian masalah siswa didorong untuk menyampaikan idenya secara terbuka.
Guru perlu menyajikan masalah dengan hati-hati dengan prosedur yang jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi. Hal penting di sini adalah orientasi kepada situasi masalah menentukan tahap untuk penyelidikan selanjutnya. Oleh karena itu pada tahap ini presentasi harus menarik minat siswa dan menimbulkan rasa ingin tahu.
2)      Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Problem based learning membutuhkan keterampilan kolaborasi diantara siswa menurut mereka untuk menyelidiki masalah secara bersama. Oleh karena itu mereka juga membutuhkan bantuan untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas belajarnya.
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif juga berlaku untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok problem based learning. Intinya di sini adalah guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.
3)      Membantu penyelidikan siswa
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data-data atau melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi dari masalah tersebut. Tujuannya agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk membangun ide mereka sendiri. Siswa akan membutuhkan untuk diajarkan bagaimana menjadi penyelidik yang aktif dan bagaimana menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang sedang dipelajari.
Setelah siswa mengumpulkan cukup data mereka akan mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan dan pemecahan. Selama tahap ini guru mendorong semua ide dan menerima sepenuhnya ide tersebut.
4)      Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil karya yang akan disajikan. Masing-masing kelompok menyajikan hasil pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu diskusi. Penyajian hasil karya ini dapat berupa laporan, poster maupun media-media yang lain.
5)      Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tahap akhir ini meliputi aktivitas yang dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri dan disamping itu juga mengevaluasi keterampilan penyelidikan dan keterampilan intelektual yang telah mereka gunakan.
Selanjutnya beberapa ciri penting problem based learning sebagai berikut (Brook & Martin, 1993).
Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan pebelajar dalam pola pemecahan masalah. Kondisi ini akan dapat mengembangkan keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi permasalahan. Dalam konteks belajar kognitif sejumlah tujuan yang terkait adalah belajar langsung dan mandiri, pengetahuan dan pemecahan masalah. Sehingga untuk mencapai keberhasilan, para pebelajar harus mengembangkan keahlian belajar dan mampu mengembangkan strategi dalam mengidentifikasi dan menemukan permasalahan belajar, evaluasi dan juga belajar dari berbagai sumber yang relevan.
Keberlanjutan masalah
Dalam hal ini ada dua hal yang harus terpenuhi. Pertama, harus dapat memunculkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang relevan dengan content domain yang dibahas. Kedua, permasalahan hendaknya riil sehingga memungkinkan terjadinya kesamaan pandang antarsiswa. Ada tiga alasan kenapa permasalahan harus nyata (realistik). (1) Siswa terkadang terbuka untuk meneliti semua dimensi dari permasalahan sehingga dapat mengalami kesulitan dalam menciptakan suatu permasalahan yang luas dengan informasi yang sesuai. (2) Permasalahan nyata cenderung untuk lebih melibatkan siswa terhadap suatu konteks tentang kesamaan dengan permasalahan. (3) Siswa segera ingin tahu hasil akhir dari penyelesaian masalahnya.
 Adanya presentasi permasalahan
Pebelajar dilibatkan dalam mempresentasikan permasalahan sehingga mereka merasa memiliki permasalahan tersebut. Ada dua hal pokok dalam mempresentasikan permasalahan. Pertama, jika siswa dilibatkan dalam pemecahan masalah yang autentik, maka mereka harus memiliki permasalahan tersebut. Kedua, adalah bahwa data yang ditampilkan dalam presentasi permasalahan tidak menyoroti faktor-faktor utama dalam masalah tersebut, namun dapat ditampilkan sebagai dasar pertanyaan sehingga tidak menampilkan informasi kunci
Peran guru sebagai tutor dan fasilitator
Dalam hal ini peran guru sebagai fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir siswa dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu siswa untuk menjadi mandiri. Kemampuan dari tutor sebagai fasilitator keterampilan mengajar kelompok kecil dam proses pembelajaran merupakan penentu utama dari kualitas dan keberhasilan. Setiap metode pendidikan bertujuan: (1) Mengembangkan kreativitas pada siswa dan keahlian berpendapat. (2) Membantu mereka untuk menjadi mandiri. Sedangkan tutorial adalah suatu penggunaan keahlian yang menitikberatkan masalah dasar belajar langsung mandiri (Barrows dalam Savery & Duffy, 1994).
Barrows (1996) dalam tulisannya yang berjudul Problem Based Learning in Medicine and Beyond juga mengemukakan beberapa karakteristik Problem Based Learning sebagai berikut:
1)      Proses pembelajaran bersifat Student Centered. Melalui bimbingan tutor (guru), siswa harus bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya, mengidentifikasi apa yang mereka perlu ketahui untuk memperoleh pemahahaman yang lebih baik, mengelola permasalahan dan menentukan dimana mereka akan memperoleh informasi (buku teks, jurnal, internet, dsb).
2)      Proses pembelajaran pembelajaran berlangsung pada kelompok kecil. Setiap kelompok biasanya terdiri dari 5-8 orang. Anggota kelompok sebaiknya ditukar untuk setiap unit kurikulum. Kondisi demikian akan memberikan kondisi praktis kepada siswa untuk bekerja dan belajar secara lebih intensif dan efektif dalam variasi kelompok.
3)      Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Dalam hal ini guru tidak berperan sebagai penceramah atau pemberi faktual, namun berperan sebagai fasilitator. Guru tidak memberitahu siswa tentang apa yang mereka harus pelajari atau baca. Siswa itu sendirilah (secara berkelompok) yang mengidentifikasi dan menentukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip apa yang harus mereka pelajari dan mereka pahami agar mampu memecahkan masalah yang telah disajikan guru pada awal setting pembelajaran.
4)      Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam setting pembelajaran diorganisasi dalam bentuk dan fokus tertentu dan merupakan stimulus pembelajaran. Misalnya, masalah pasien atau kesehatan masyarakat disajikan dalam berbagai bentuk seperti kasus tertulis, simulasi pasien, simulasi komputer atau video. Kondisi demikian akan menantang dan menghadapkan siswa dalam kondisi praktis serta akan memotivasi siswa untuk belajar. Untuk memecahkan masalah tersebut, siswa akan merealisasikan apa yang perlu mereka pelajari dari ilmu-ilmu dasar serta akan mengarahkan mereka untuk mengintegrasikan informasi-informasi dari berbagai disiplin ilmu.
5)      Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri (self directed learning). Siswa diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasikan keahliannya melalui belajar mandiri, serta dapat berbuat seperti praktisi yang sesungguhnya. Selama proses belajar secara mandiri, siswa bekerja bersama dalam kelompok, berdiskusi, melakukan komparasi, mereview serta berdebat tentang apa yang sudah mereka pelajari.
6)      Masalah merupakan wahana untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah klinik. Format permasalahan hendaknya mempresentasikan permasalahan pasien sesuai dengan dunia realita. Format permasalahan juga harus memberi kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pasien, melakukan tes fisik, tes laboratorium dan tuntutan lainnya.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang program pengajaran yang berorientasi pada problem based learning sehingga proses pembelajaran benar-benar berpusat pada siswa (student centered) adalah sebagai berikut (Gallagher & Stepien, 1995):
1)      Fokuskan permasalahan (problem) sekitar pembelajaran konsep-konsep esensial yang strategis. Gunakan permasalahan dan konsep untuk membantu siswa melakukan investigasi substansi isi (content).
2)      Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi gagasannya melalui eksperimen atau studi lapangan. Siswa akan menggali data-data yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
3)      Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengelola data yang mereka miliki yang merupakan proses metakognisi.
4)      Berikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan solusi-solusi yang mereka kemukakan. Penyajian dapat dilakukan dalam bentuk seminar atau publikasi atau dalam bentuk penyajian poster.
Prosedur dan tahapan pelaksanaan proses pembelajaran problem based learning adalah sebagai berikut (dimodifikasi dari Barrows and Myers, 1993).
PENDAHULUAN
  1. Penyampaian tujuan pembelajaran
  2. Apersepsi
SETTING PERMASALAHAN
  1. Penyampaian masalah
  2. Internalisasi masalah oleh siswa
  3. Menggambarkan hasil/performan yang diperlukan
  4. Pemberian tugas-tugas meliputi (pengajuan hipotesis, pengumpulan fakta, mensintesa informasi yang tersedia melalui kegiatan inkuiri, membuat catatan yang diperlukan, merancang kegiatan/penyelidikan yang berkaitan upaya pemecahan masalah)
  5. Pemberian alasan terhadap permasalahan
  6. Identifikasi sumber-sumber pembelajaran
  7. Penjadwalan tindak lanjut
PRESENTASI
  1. Penyajian pemecahan masalah
  2. Diskusi
AKHIR KEGIATAN
  1. Memiliki pengetahuan
  2. Penilaian diri melalui hasil diskusi
Sebagai model pembelajaran problem based learning disamping memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan. Wina Sanjaya (2006: 218) menyatakan keunggulan problem based learning adalah:
  1. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
  2. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
  3. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
  4. Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
  5. Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping juga dapat mendorong untuk melakukan siendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
  6. Melalui pemecahan masalah bisa diperlihatkan bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir dan sesuatu yang dimengerti oleh siswa bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku saja.
  7. Pemecahan masalah dipandang lebih mengasikkan dan disukai siswa.
  8. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan pengetahuan baru.
  9. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka miliki dalam dunia nyata.
  10. Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
Sedangkan kelemahannya adalah:
  1. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan sehingga masalah yang dipelajari sulit dipecahkan maka siswa akan merasa enggan untuk mencoba.
  2. Keberhasilan pembelajaran ini membutuhkan cukup banyak waktu.
  3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka siswa tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Belajar berbasis masalah berakar dari pandangan John Dewey, yang menyatakan bahwa sekolah mestinya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Pandangan ini mengharuskan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual dan sosial. Pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki manfaat nyata daripada abstrak. Pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik yang merupakan pilihan mereka sendiri. Visi pembelajaran yang berdayaguna atau terpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan siswa untuk menyelidiki secara  pribadi masalah tersebut. Hal ini secara jelas menghubungkan BBM dengan filosofi pendidikan dan pedagogi Dewey.
BBM juga dikembangkan dari konsep konstruktivisme atas dasar pandangan Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Piaget menegaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha ingin memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu ini, menurut Piaget dapat memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka mengenai lingkungan yang mereka hayati. Pada saat mereka tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Sementara itu, pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka dan memotivasinya untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu.
Pandangan ini lebih lanjut mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis namun secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Menurut Piaget, pedagogi yang baik harus melibatkan anak dengan situasi-situasi dimana anak itu secara mandiri melakukan eksperimen, dalam arti mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang mereka temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain dan membandingkan temuannya dengan temuan anak lain (dalam Ibrahim dan Nur, 2000).
Di pihak lain, Lev Vygostsky percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru yang menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman. Dalam upaya mendapatkan pemahaman, individu mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang telah dimilikinya untuk membangun pengertian baru. Vygotsky memberi tempat yang lebih penting pada aspek sosial pembelajaran. Vygotsky percaya bahwa mereka interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.
Pada dasarnya, baik Piaget maupun Vigotsky, sama-sama mengembangkan konstruktivisme psikologis. Namun demikian, Piaget lebih menekankan pada konstruktivisme psikologis yang bersifat personal, sedangkan Vigotskty lebih menekankan pada kontruktivisme psikologis yang bersifat sosial (Suparno, 1997: 43). Kedua konsep konstruktivisme tersebut menjadi landasan pokok model Belajar Berdasarkan Masalah.
BBM juga berlandaskan pada social leraning theory Albert Bandura, yang fokus pada pembelajaran dalam konteks sosial (social context). Teori ini menyatakan bahwa seorang belajar dari orang lain, termasuk konsep dari belajar observasional, imination dan modeling. Prinsip umum dari social learning theory selengkapnya dinyatakan oleh Armrod (1999) sebagai berikut:
General principles of social learning theory follows:
  1. 1.      People  can learn by observing the behavior is of others and the autcomes of those behaviors.
  2. 2.      Learning can occur without a change in behavior. Behaciorists say that learning has to be represented by a permanent change in behavior, in contrast social learning theorists say that because people can learn thourg observation alone, their learning may not necessarily be shown in their performance. Learning may or may not result in a behavior change.
  3. 3.      Cognition plays a role in learning. Over the last 30 years social learning theory has become increasingly cognitive in its interpretation of human learning. Awareness and expectation of future reinforcements or punishments can have a major effect on the behaviors that people exhibit.
  4. 4.      Social learning theory can be considered a bridge or a transition between behaviorist learning theories and cognitive learning theories.

Belajar Berbasis Masalah didukung pula oleh teorinya Jerome Bruner yang dikenal dengan pembelajaran penemuan. Belajar penemuan ini merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi. Tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya pengetahuan siswa tetapi juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk penemuan siswa. Pembelajaran penemuan diterapkan dengan menekankan penalaran induktif dan proses-proses inkuiri yang merupakan ciri dari metode ilmiah. Belajar berdasarkan masalah pada intinya adalah melakukan proses inkuiri tersebut.
Kaitan intelektual antara pembelajaran penemuan dan belajar berbasis masalah sangat jelas. Pada kedua model ini, guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan siswa menentukan atau mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada belajar berbasis masalah atau penemuan, guru mengajukan pertanyaan atau masalah kepada siswa dan memperbolehkan siswa untuk menemukan ide dan teori mereka sendiri.
Belajar Berbasis Masalah (BBM) memiliki nama lain yang pada dasarnya bermakna sama, seperti Problem-Based Learning (PBL), Problem-Based Instruction (PBI), Project-Based Teaching (Pembelajaran Proyek), Experienced Based Education (Pendidikan Berdasarkan Pengalaman), Authentic Learning (Belajar Autentik) dan Echored Instruction (Pembelajaran Berakar pada Kehidupan Nyata).
Belajar Berbasis Masalah (BBM) adalah pembelajaran yang dirancang berdasarkan masalah kehidupan yang bersifat tidak tentu (ill-structured), terbuka dan mendua. Masalah yang tidak tentu adalah masalah yang kabur, tidak jelas, atau belum terdefinisikan (Fogarty, dalam Arnyana, 2004). Sedangkan Boud (1985: 1) menyatakan bahwa Belajar adalah masalah merupakan pembelajaran yang dimulai dengan penyajian masalah, yang berupa pertanyaan atau teka-teki yang dapat merangsang siswa untuk menyelesaikannya. Definisi yang hampir sama dinyatakan oleh Ibrahim dan Nur (2000: 3), bahwa BBM terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Secara lebih spesifik, Barrows (1996: 5) menyatakan bahwa BBM merupakan pembelajaran yang memiliki karakteristik, yakni (1) belajar berpusat pada siswa, (2) belajar terjadi dalam kelompok kecil, (3) guru berperan sebagai fasilitator atau penuntun, (4) bentuk masalah difokuskan pada pengaturan dan merangsang untuk belajar, (5) masalah merupakan sarana untuk membangun keterampilan pemecahan masalah, (6) informasi baru diperoleh melalui self-directing learning.
Belajar Berbasis Masalah diterapkan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar (Ibrahim dan Nur, 2000). Peran guru dalam pembelajaran ini adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Lebih penting lagi, guru melakukan scaffolding, yaitu suatu kerangka dukungan yang memperkaya keterampilan dan pertumbuhan intelektual siswa. BBM tidak terjadi tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka.
Belajar Berbasis Masalah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Mengajukan pertanyaan atau masalah. BBM mengorganisasikan pertanyaan dan masalah yang sangat penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Masalah yang diajukan berupa situasi kehidupan nyata/autentik, menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi tersebut. (2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. (3) Penyelidikan autentik. BBM mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian masalah secara nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan simpulan sebagai solusi terhadap masalah yang diajukan. (4) Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya. BBM menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. (5) Kerja sama. BBM juga dicirikan oleh siswa bekerjasama antara yang satu dengan lainnya dalam bentuk berpasangan atau berkelompok (antara 4-8 siswa) dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam pembelajarannya, siswa bekerjasama antara satu dengan yang lain, untuk mengembangkan keterampilan berpikir (Ibrahim dan Nur, 2000: 5-6).
Belajar berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah dan keterampilan intelektual. Di samping itu, BBM memberikan kesempatan belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi serta menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim dan Nur, 2000). BBM dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini didukung oleh Hastings yang mengemukakan bahwa belajar berdasarkan masalah dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis serta menghadapkan siswa pada latihan untuk memecahkan masalah (dalam Arnyana, 2004).
Ibrahim dan Nur (2000) memberikan rasional tentang bagaimana BBM membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar pentingnya peran orang dewasa. Mereka lebih lanjut mengungkapkan bagaimana pembelajaran di sekolah seperti yang dipahami secara tradisional, berbeda dalam empat hal penting dari aktivitas mental dan belajar yang terjadi di luar sekolah. Keempat hal tersebut dipaparkan seperti berikut: (1) Pembelajaran di sekolah berpusat pada kinerja siswa secara individual, sementara di luar sekolah kerja mental melibatkan kerjasama dengan orang lain. (2) Pembelajaran di sekolah terpusat pada proses berpikir tanpa bantuan, sementara aktivitas mental di luar sekolah selalu melibatkan alat-alat kognitif seperti komputer, kalkulator dan instrumen ilmiah lainnya. (3) Pembelajaran di sekolah mengembangkan berpikir simbolik berkaitan dengan situasi hipotesis, sementara aktivitas mental di luar sekolah mengharapkan masing-masing individu berhadapan secara langsung dengan benda dan situasi yang kongkret. (4) Pembelajaran di sekolah memusatkan pada keterampilan umum, sementara di luar sekolah memerlukan kemampuan khusus.
Belajar berbasis masalah biasanya terdiri dari 5 tahap yang dimulai dengan (1) orientasi siswa kepada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya dan (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah (Nur, 2000: 13); Arends, 2004: 406). Jika jangkauan masalahnya sedang-sedang saja, kelima tahapan tersebut mungkin dapat diselesaikan dalam 2 sampai 3 kali pertemuan. Namun untuk masalah yang kompleks mungkin akan dibutuhkan setahun penuh untuk menyelesaikannya. Model belajar berbasis masalah, pada umumnya diterapkan pada bidang-bidang sains, untuk penerapannya pada bidang matematika, perlu adanya modfikasi. Secara garis besar kelima langkah tersebut tetap, yang perlu sedikit penyesuaian adalah pada kegiatan guru dan kegiatan siswa. Kelima tahapan tersebut secara lengkap disajikan pada tabel.
Tabel 01. Sintaks Model Belajar Berbasis Masalah
Tahap
Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
Tahap I
Orientasi siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan kebutuhan yang diperlukan dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya Siswa menginventarisasi dan mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Siswa berada dalam kelompok yang telah ditetapkan
Tahap 2
Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Siswa membatasi permasalahannya yang akan dikaji
Tahap 3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah Siswa melakukan inkuiri, investigasi, dan bertanya untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang dihadapi
Tahap 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan laporan serta membantu siswa untuk berbagai tugas dalam kelompoknya Siswa menyusun laporan dalam kelompok dan menyajikannya dihadapan kelas dan berdiskusi dalam kelas
Tahap 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan Siswa mengikuti tes dan menyerahkan tugas-tugas sebagai bahan evaluasi proses belajar
  1. A.    Prestasi Belajar
Prestai belajar dimulai dengan kegiatan atau aktivitas, setelah itu belajar dan terakhir baru prestai belajar.
  1. Aktivitas
Kata “Aktivitas” berasal dari Bahasa Inggris ‘activity’ yang artinya ‘state of action, lireliness or ingorous mation’ (Webster’ New American Dictionary: 12). Apabila diartikan dalam Bahasa Indonesia kata ini berarti kebenaran dari perlakuan, kegiatan yang aktif, kegiatan yang aktual atau giat dalam melakukan gerak-gerik, usul. Dalam bahasa Indonesia aktif berarti giat belajar, giat berusaha, dinamis, mampu berkreasi dan beraksi (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 32).
Aktivitas merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh siswa, baik dalam aktivitas jasmani maupun dalam aktivitas rohani. Aktivitas ini jelas merupakan ciri bahwa siswa berkeinginan untuk mengikuti proses. Siswa dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemui ciri-ciri seperti berikut (Tim Instruktur PKG, 1992: 2):
  1. Antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran
  2. Terjadi interaksi siswa dengan guru, siswa dengan siswa
  3. Siswa terlibat dan bekerjasama dalam diskusi kelompok
  4. Terjadi aktivitas siswa dalam pelaksanaan pembelajaran
  5. Siswa berpartisipasi dalam menyimpulkan materi.
Keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar dapat dilihat dari (Nana Sudjana, 2000: http://www.scribd.com/doc/90372008):
  1. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya
  2. Terlibat dalam pemecahan masalah
  3. Bertanya pada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya
  4. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk  memecahkan masalah
  5. Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru
  6. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya
  7. Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis
  8. Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.

  1. Belajar
Belajar dalam Bahasa Inggris adalah “Study” yang artinya ‘The act of using the mind to require knowledge’ (Webster’ New American Dictionary: 1993). Apabila diartikan dalam Bahasa Indonesia, belajar adalah perbuatan menggunakan ingatan/pikiran untuk mendapatkan/ memperoleh pengetahuan. Belajar artinya berusaha untuk memperoleh ilmu atau menguasai suatu keterampilan; juga berarti berlatih (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 27). Selanjutnya belajar juga berarti perubahan yang relatif permanen dalam kapasitas pribadi seseorang sebagai akibat pengolahan atas pengalaman yang diperolehnya dari praktek yang dilakukannya (Glosarium Standar Proses, Permen Diknas No. 41 tahun 2007). Dari ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah penggunaan pikiran untuk memperoleh ilmu. Ini berarti bahwa belajar adalah perbuatan yang dilakukan dari tahap belum tahu ke tahap mengetahui sesuatu yang baru.
Prinsip belajar yang dapat menunjang tumbuhnya cara belajar siswa aktif adalah: stimulus, perhatian dan motivasi, respon, penguatan dan umpan balik (Sriyono, 1992: http://www.scribd.com/doc/90372081).
  1. B.     Prestasi Belajar
  2. Aktivitas
Kata “Aktivitas” berasal dari Bahasa Inggris ‘activity’ yang artinya ‘state of action, lireliness or ingorous mation’ (Webster’ New American Dictionary: 12). Apabila diartikan dalam Bahasa Indonesia kata ini berarti kebenaran dari perlakuan, kegiatan yang aktif, kegiatan yang aktual atau giat dalam melakukan gerak-gerik, usul. Dalam bahasa Indonesia aktif berarti giat belajar, giat berusaha, dinamis, mampu berkreasi dan beraksi (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 32).
Aktivitas merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh siswa, baik dalam aktivitas jasmani maupun dalam aktivitas rohani. Aktivitas ini jelas merupakan ciri bahwa siswa berkeinginan untuk mengikuti proses. Siswa dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemui ciri-ciri seperti berikut (Tim Instruktur PKG, 1992: 2):
  1. Antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran
  2. Terjadi interaksi siswa dengan guru, siswa dengan siswa
  3. Siswa terlibat dan bekerjasama dalam diskusi kelompok
  4. Terjadi aktivitas siswa dalam pelaksanaan pembelajaran
  5. Siswa berpartisipasi dalam menyimpulkan materi.
Keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar dapat dilihat dari (Nana Sudjana, 2000: http://www.scribd.com/doc/90372008):
  1. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya
  2. Terlibat dalam pemecahan masalah
  3. Bertanya pada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya
  4. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk  memecahkan masalah
  5. Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru
  6. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya
  7. Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis
  8. Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.
  9. Belajar
Belajar dalam Bahasa Inggris adalah “Study” yang artinya ‘The act of using the mind to require knowledge’ (Webster’ New American Dictionary: 1993). Apabila diartikan dalam Bahasa Indonesia, belajar adalah perbuatan menggunakan ingatan/pikiran untuk mendapatkan/ memperoleh pengetahuan. Belajar artinya berusaha untuk memperoleh ilmu atau menguasai suatu keterampilan; juga berarti berlatih (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 27). Selanjutnya belajar juga berarti perubahan yang relatif permanen dalam kapasitas pribadi seseorang sebagai akibat pengolahan atas pengalaman yang diperolehnya dari praktek yang dilakukannya (Glosarium Standar Proses, Permen Diknas No. 41 Tahun 2007). Dari ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah penggunaan pikiran untuk memperoleh ilmu. Ini berarti bahwa belajar adalah perbuatan yang dilakukan dari tahap belum tahu ke tahap mengetahui sesuatu yang baru.
Prinsip belajar yang dapat menunjang tumbuhnya cara belajar siswa aktif adalah: stimulus, perhatian dan motivasi, respon, penguatan dan umpan balik (Sriyono, 1992: http://www.scribd.com/doc/90372081). Juga dikatakan bahwa ativitas belajar berupa keaktifan jasmani dan rohani yang meliputi keaktifan panca indra, keaktifan akal, keaktifan ingatan dan keaktifan emosi. Pendapat lain menyatakan bahwa aktivitas belajar dilakukan dalam bentuk interaksi antara guru dengan siswa dan antara siswa siswa dengan siswa lain (Abdul, 2002 dalam http://www.scribd.com/doc/90372081).
Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa belajar sebenarnya merupakan cara yang membuat siswa aktif, baik dengan penggunaan cara simulasi, respon, motivasi, penguatan, umpan balik yang dapat membangkitkan keaktifan jasmani dan rohani siswa sehingga muncul interaksi antar siswa dengan guru begitu juga interaksi antara siswa yang satu dengan siswa lainnya.
Dengan menggabungkan semua pendapat yang telah disampaikan serta pengertian-pengertian tentang belajar dapat disimpulkan bahwa belajar adalah penggunaan ingatan atau pikiran untuk memperoleh pengetahuan baru yang belum diketahui sebelumnya dengan penggunaan cara-cara tertentu seperti simulasi, respon, motivasi, penguatan, umpan balik yang dapat membangkitkan keaktifan siswa baik jasmani maupun rohani yang dapat membangkitkan interaksi antara siswa dengan guru serta siswa dengan siswa lainnya.

  1. Aktivitas Belajar
Dari semua pengertian dan pendapat-pendapat tentang aktivitas dan pengertian-pengertian serta pendapat-pendapat tentang belajar dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar mempunyai batasan-batasan seperti: 1) kebenaran perlakuan, 2) ada partisipasi, 3) kegiatan aktual atau keikutsertaan baik jasmani maupun rohani, 4) antusiasme, 5) interaksi siswa dengan guru, siswa dengan siswa lainnya, 6) penerapan secara aktual apa yang telah diporoleh.
Prestasi belajar ……………. sama dengan prestasi belajar bidang studi yang lain merupakan hasil dari proses belajar siswa dan sebagaimana biasa dilaporkan pada wali kelas, murid dan orang tua siswa setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran.
Prestasi belajar mempunyai arti dan manfaat yang sangat penting bagi anak didik, pendidik, orang tua/wali murid dan sekolah, karena nilai atau angka yang diberikan merupakan manifestasi dari prestasi belajar siswa dan berguna dalam pengambilan keputusan atau kebijakan terhadap siswa yang bersangkutan maupun sekolah. Prestasi belajar merupakan kemampuan siswa yang dapat diukur, berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dicapai siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
Djamarah (1994:23) mendefinisikan prestasi belajar sebagai hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar. Kalau perubahan tingkah laku adalah tujuan yang mau dicapai dari aktivitas belajar, maka perubahan tingkah laku itulah salah satu indikator yang dijadikan pedoman untuk mengetahui kemajuan individu dalam segala hal yang diperolehnya di sekolah. Dengan kata lain prestasi belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki   oleh siswa sebagai akibat perbuatan belajar atau setelah menerima pengalaman belajar, yang dapat dikatagorikan menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Dengan mengkaji hal tersebut di atas, maka faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar menurut Purwanto (2000: 102) antara lain: (1) faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang dapat disebut faktor individual, seperti kematangan/pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi, (2) faktor yang ada diluar individu yang disebut faktor sosial., seperti faktor keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajamya, alat-alat yang dipergunakan dalam belajar-mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia dan motivasi sosial. Dalam penelitian ini factor ke 2 yaitu factor yang dari luar seperti guru dan cara mengajarnya yang akan menentukan prestasi belajar siswa. Guru dalam hal ini adalah kemampuan atau kompetensi guru, pendidikan dan lain-lain. Cara mengajarnya itu merupakan factor kebiasaan guru itu atau pembawaan guru itu dalam memberikan pelajaran. Juga dikatakan oleh Slamet (2003: 54-70) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan saja, yaitu faktor intern dan faktor ekstem. Faktor intern diklasifikasi menjadi tiga faktor yaitu: faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan. Faktor jasmaniah antara lain: kesehatan, cacat tubuh. Faktor psikologis antara lain: intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan. Faktor kelelahan antara lain: kelelahan jasmani dan rohani. Sedangkan faktor ekstern digolongkan menjadi tiga faktor yaitu: faktor keluarga, faktor sekolah, faktor masyarakat. Faktor keluarga antara lain: cara orang tua mendidik, relasi antara keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga. Faktor sekolah antara lain: metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah. Faktor masyarakat antara lain: kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat. Peningkatan prestasi belajar yang penulis teliti dalam hal ini dipengaruhi oleh factor ekstern yaitu metode mengajar guru.
Sardiman (1988: 25) menyatakan prestasi belajar sangat vital dalam dunia pendidikan, mengingat prestasi belajar itu dapat berperan sebagai hasil penilaian dan sebagai alat motivasi. Adapun peran sebagai hasil penilaian dan sebagai alat motivasi diuraikan seperti berikut.
Dalam pembahasan sebelumnya telah dibicarakan bahwa prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidikan tentang kemajuan prestasi siswa setelah melakukan aktivitas belajar. Ini berarti prestasi belajar tidak akan bisa diketahui tanpa dilakukan penilaian atas hasil aktivitas belajar siswa. Fungsi prestasi belajar bukan saja untuk mengetahui sejauhmana kemajuan siswa setelah menyelesaikan suatu aktivitas, tetapi yang lebih penting adalah sebagai alat untuk memotivasi setiap siswa agar lebih giat belajar,  baik secara individu maupun kelompok. Dalam pembahasan ini akan dibicarakan mengenai prestasi belajar sebagai hasil penilaian dan pada pembahasan berikutnya akan dibicarakan pula prestasi belajar sebagai alat motivasi. Prestasi belajar sebagai hasil penilaian sudah dipahami. Namun demikian untuk mendapatkan pemahaman, perlu juga diketahui, bahwa penilaian adalah sebagai aktivitas dalam menentukan rendahnya prestasi belajar itu sendiri.
Abdullah (dalam Mamik Suratmi, 1994: 22), mengatakan bahwa fungsi prestasi belajar adalah: (a) sebagai indikator dan kuantitas pengetahuan yang telah dimiliki oleh pelajar, (b) sebagai lambang pemenuhan keingintahuan, (c) informasi tentang prestasi belajar dapat menjadi perangsang untuk peningkatan ilmu pengetahuan dan (d) sebagai indikator daya serap dan kecerdasan murid.
Mohammad Surya (1979), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain dari sudut si pebelajar, proses belajar dan dapat pula dari sudut situasi belajar.
Bila kita coba lihat lebih dalam dari pendapat di atas, maka prestasi belajar dipengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor dari si pebelajar sendiri atau faktor dalam diri siswa dan faktor luar. Faktor dalam diri siswa seperti IQ, motivasi, etos belajar, bakat, keuletan,  dan lain-lain sangat berpengaruh pada prestasi belajar siswa.
Penjelasan Surya selanjutnya adalah: dari sudut si pembelajar (siswa), prestasi belajar seseorang dipengaruhi antara lain oleh kondisi kesehatan jasmani siswa, kecerdasan, bakat, minat, motivasi, penyesuaian diri dan kemampuan berinteraksi siswa. Sedangkan yang bersumber dari proses belajar, maka kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran sangat menentukan prestasi belajar siswa. Guru yang menguasai materi pelajaran dengan baik, menggunakan metode dan media pembelajaran yang tepat, mampu mengelola kelas dengan baik dan memiliki kemampuan untuk menumbuhkembangkan motivasi belajar siswa untuk belajar, akan memberi pengaruh yang positif terhadap prestasi belajar siswa. Sedangkan situasi belajar siswa, meliputi situasi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai siswa setelah melakukan kegiatan belajar yang berbentuk angka sebagai simbol dari ketuntasan belajar bidang studi sejarah. Prestasi belajar ini sangat dipengaruhi oleh factor luar yaitu guru dan metode. Hal inilah yang menjadi titik perhatian peneliti di lapangan.
LITERATUR YANG DAPAT DI BACA :
Abdul. 2002. http://www.scribd.com/doc/9037208/
Alien, Deborah E. et al- 1996. The Power of Problem Based Learning in Teaching Introductory Science Courses. Jossey-Boss Publisher.
Anom. 2000. Profesionalisme Guru Fisika dalam Menghadapi Tantangan Era Global. Makalah. Disampaikan pada seminar dalam rangka HUT ke-36 Jurusan Fisika STKIP Singaraja pada 1 hari Minggu 5 Nopember 2000.
Arends, Richard I. 2004. Learning to Teach. Sixth Edition. New York: McGraw-Hill
Arief Furchan. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Pustaka Belajar: Yogyakarta.
Arikunto, Suharsimi. 1995. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Arnyana, Ida Bagus Putu. 2004. Pengembangan Perangkat Model Belajar Berdasarkan Masalah Dipandu Strategi Kooperatif serta Pengaruh Implementasinya Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Basil Belajar Siswa Sekolak Menengah Atas pada Pelajaran Ekosistem. Disertasi. UNM.
Badan  Standar Nasional Pendidikan. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007. Jakarta: BSNP.
Share:

Definition List

Unordered List

Support